Yunus & Ira: Kisah Haru di Balik Penghentian Penuntutan KDRT di Sanggau melalui Restorative Justice

Foto Ilustrasi Stop KDRT (Sumber Gambar: cdn.law-justice.co)
Transformasi Keadilan: JAMPIDUM Terapkan Restorative Justice pada Empat Perkara, Termasuk Kasus KDRT di Sanggau
SIGAPNEWS.CO.ID | JAKARTA – Dalam upaya membangun wajah keadilan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan hubungan sosial, Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali mencatatkan langkah inspiratif. Melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, telah disetujui empat permohonan penghentian penuntutan melalui mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif), salah satunya adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Kisah Pengampunan di Sanggau
Perkara ini melibatkan Yunus alias Afung, yang terjerat pasal tentang KDRT. Berawal dari pertengkaran rumah tangga, situasi memuncak menjadi insiden kekerasan yang meninggalkan luka fisik dan emosional bagi sang istri, Ira. Namun, di tengah luka itu, kedua belah pihak memilih jalur yang tidak hanya mengakhiri konflik, tetapi juga memulihkan hubungan keluarga.
Difasilitasi oleh Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau Dedy Irwan Virantama, S.H., M.H, dan timnya, proses perdamaian berhasil diwujudkan. Yunus mengakui kesalahan, meminta maaf dengan tulus, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Ira, dengan jiwa besar, menerima permintaan maaf tersebut, mengedepankan rekonsiliasi ketimbang penghukuman.
“Keadilan restoratif bukan hanya soal memaafkan, tetapi juga menciptakan peluang kedua bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan memutus lingkaran kekerasan,” ujar JAMPIDUM dalam ekspose virtual.

Tiga Perkara Lain yang Diselesaikan Secara Restoratif
Selain kasus Yunus, JAM-Pidum juga menyetujui penghentian penuntutan untuk tiga perkara lainnya:
1. Ripki Septiana alias Ule dari Sukabumi, terjerat kasus pencurian ringan.
2. Retendra Johnbetri dari Solok, terlibat penganiayaan ringan.
3. Aulia Adi Putra alias Willi dari Solok, juga tersangkut kasus penganiayaan.
Alasan pemberian keadilan restoratif meliputi penyesalan tersangka, permintaan maaf yang diterima korban, serta fakta bahwa para pelaku belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya.
Sinyal Positif dari Masyarakat
Pendekatan ini mendapatkan sambutan positif dari masyarakat. Mekanisme *Restorative Justice* tidak hanya menawarkan solusi hukum yang lebih manusiawi, tetapi juga menekankan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan sosial.
“Proses hukum sejatinya tidak hanya mencari hukuman, tetapi juga mengembalikan harmoni yang hilang,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum, Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum.
Dengan langkah ini, Kejaksaan Agung menegaskan komitmennya untuk menghadirkan keadilan yang bermartabat dan memberdayakan masyarakat. Restorative Justice bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah paradigma baru menuju hukum yang lebih bijaksana.
Editor :M Amin
Source : Humas Kejagung RI