Pemulung Mencuri: Kerasnya Beban Seorang Ayah! Ini Kisahnya, hingga Diselamatkan Melalui RJ

Foto Ilustrasi Pemulung (Sumber Gambar: jabar.tribunnews.com)
SIGAPNEWS.CO.ID | JAKARTA - Suasana haru dan penuh harapan mewarnai ruang sidang ketika Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana mengumumkan keputusan penting yang menggema di seluruh penjuru negeri. Di bawah kepemimpinannya, sebuah lembaran baru dalam dunia hukum Indonesia kembali dibuka melalui penerapan restorative justice (RJ)/ keadilan restoratif. RJ diterapkan dalam kasus Suyadi bin Waget, seorang pemulung yang terjebak dalam lingkaran hukum karena mencuri barang bekas demi sesuap nasi.
Perkara yang terjadi pada 25 Juni 2024 di Jakarta Barat ini mengungkap realitas kehidupan Suyadi, yang terpaksa mengambil lemari acrylic dari sebuah rumah tak berpagar, untuk dijual demi memenuhi kebutuhan hidup. Namun aksi tersebut tak berlangsung lama, sebelum pemilik barang menangkap basah tindakannya, berujung pada pelaporan ke pihak berwajib.
Di tengah perjalanan kasus ini, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Hendri Antoro, S.Ag., S.H., M.H., bersama tim jaksa yang dipimpin oleh Kasi Pidum, Muhammad Adib Adam, S.H., M.H., melihat celah untuk menerapkan keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan yang mengedepankan perdamaian dan pemulihan, bukan sekadar hukuman.
Dalam proses perdamaian, Suyadi dengan tulus meminta maaf kepada korban, yang akhirnya menerima permohonan maaf tersebut. Korban juga berbesar hati memohon agar proses hukum yang dijalani Suyadi dihentikan, meskipun dirinya mengalami kerugian sebesar Rp2,5 Juta. Langkah ini membawa angin segar bagi sistem peradilan Indonesia, menunjukkan bahwa hukum tidak hanya soal penegakan aturan, tetapi juga soal kemanusiaan dan pengampunan.
Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menekankan pentingnya prinsip-prinsip seperti perdamaian, integritas, dan keterbukaan dalam penanganan kasus. "Restorative justice bukan hanya tentang menyelesaikan perkara, tetapi tentang membangun kembali hubungan yang rusak, memberikan kesempatan kedua, dan menciptakan harmoni dalam masyarakat," ungkapnya dengan penuh kebijaksanaan.
Keputusan untuk menghentikan penuntutan Suyadi menjadi simbol kemenangan bagi kemanusiaan, mengirimkan pesan kuat bahwa hukum di Indonesia mampu berdiri di sisi yang lemah dan terpinggirkan. Dengan inisiatif ini, JAM-Pidum dan seluruh jajaran Kejaksaan menunjukkan bahwa masa depan penegakan hukum di Indonesia tidak hanya tentang keadilan retributif, tetapi juga tentang memanusiakan manusia.
Keadilan restoratif yang diterapkan dalam kasus ini mengajarkan kita bahwa kadang-kadang, yang dibutuhkan seseorang bukanlah hukuman, melainkan pemahaman, pengampunan, dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Dengan semangat ini, hukum Indonesia melangkah maju, membawa harapan baru bagi mereka yang pernah tersesat dalam arus kehidupan.
Selain kasus Suyadi bin Waget, JAMPIDUM juga menyetujui penghentian penuntutan melalui mekanisme keadilan restoratif untuk tiga perkara lainnya, yang melibatkan tersangka dari berbagai daerah di Indonesia. Keputusan ini menandai langkah maju, dalam penerapan prinsip keadilan yang lebih inklusif dan manusiawi.
1. Mathias Klaru Domaking dari Kejaksaan Negeri Lembata: Tersangka Mathias dituduh melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. Kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah jalan keluar, dan melalui proses perdamaian, korban dan tersangka dapat menemukan jalan untuk saling memaafkan dan melanjutkan hidup tanpa beban hukum yang memberatkan.
2. Much Fajar bin Irwansyah dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara: Much Fajar juga dituduh melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. Dalam semangat keadilan restoratif, perkara ini diselesaikan dengan musyawarah yang menghasilkan kesepakatan damai antara korban dan tersangka, sehingga proses hukum dapat dihentikan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keadilan.
3. Juli Susilo anak dari Lo Siaw Siong dari Kejaksaan Negeri Belitung: Kasus ini lebih kompleks, di mana Juli Susilo disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. Meski demikian, melalui pendekatan yang berfokus pada pemulihan dan kesejahteraan anak, kedua belah pihak berhasil mencapai perdamaian yang memungkinkan proses hukum dihentikan secara adil dan bijaksana.
Keputusan untuk menerapkan keadilan restoratif dalam ketiga kasus ini bukan hanya soal menghentikan penuntutan, tetapi juga mencerminkan komitmen Kejaksaan untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis, di mana kesalahan diakui dan diperbaiki melalui perdamaian, bukan semata-mata hukuman. Dengan langkah ini, JAMPIDUM dan Kejaksaan Indonesia terus mengukir sejarah baru dalam penegakan hukum yang lebih beradab dan berkelanjutan.
Editor :M Amin
Source : Press Release Humas Kejagung RI