Kasus Lucu pada RJ JAMPIDUM: Pencuri Laptop Ibu Guru SD Ini, Ternyata Anaknya Sendiri

Gambar Ilustrasi Pencurian Laptop (Sumber Gambar: jatim.times.co.id)
Restorative Justice: Jalan Baru dalam Mewujudkan Kemanusiaan dalam Penegakan Hukum
SIGAPNEWS.CO.ID | JAKARTA - Dalam upaya menciptakan keadilan yang lebih manusiawi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana mencatat sejarah baru dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada hari ini, Kamis, 29 Agustus 2024, Prof. Asep menyetujui 14 permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme Restorative Justice (RJ)/ keadilan restoratif. Salah satu kasus yang menggugah hati yaitu: pencurian laptop oleh T. Dhika Rahmad, seorang pemuda yang dililit kesulitan ekonomi.
Perkara ini dimulai ketika Dhika, yang tengah terjebak dalam krisis keuangan, tergoda untuk mengambil laptop milik ibunya, Kasmawati, yang baru saja pulang mengajar di SDN 11 Manggeng. Laptop tersebut, yang seharusnya menjadi alat bantu belajar bagi para murid, justru berakhir di tangan seorang pemuda yang putus asa untuk melunasi hutang sewa tokonya.
Dhika, yang kemudian menjual laptop tersebut demi mendapatkan uang Rp1,5Juta, menyadari bahwa tindakannya keliru. Namun, melalui mekanisme keadilan restoratif, ia diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Dalam sebuah pertemuan yang dipenuhi emosi, Dhika mengakui kesalahannya di hadapan sang ibu. Dengan penuh penyesalan, ia meminta maaf, dan sang ibu, dengan hati yang lapang, memaafkan putranya.
Proses perdamaian ini menjadi dasar bagi Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya, Bima Yudha Asmara, S.H., M.H., untuk mengajukan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh. Usulan ini disetujui, dan Dhika terhindar dari jeratan hukum, sebuah keputusan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek legalitas, tetapi juga kemanusiaan.
Selain kasus Dhika, 13 perkara lainnya juga diselesaikan melalui mekanisme ini. Dari pencurian hingga penganiayaan, setiap kasus mendapatkan sentuhan kemanusiaan, di mana perdamaian, pengakuan kesalahan, dan janji untuk tidak mengulangi perbuatan menjadi syarat utama untuk penghentian penuntutan. Keputusan ini mencerminkan upaya untuk mencapai penyelesaian yang adil dan harmonis di luar pengadilan formal, dengan mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan dan rekonsiliasi.
Beberapa kasus yang disetujui melibatkan dugaan tindak pidana pencurian, seperti kasus Tersangka I Gusti Ngurah Mas Mahareksha Bhimashakti dari Kejaksaan Negeri Denpasar dan Tersangka Egi Sumargio bin Bambang dari Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya, yang keduanya disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Ada juga kasus pengancaman yang dilakukan oleh Tersangka Anang Ramadhan Siregar dari Kejaksaan Negeri Labuhanbatu Selatan, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) KUHP.
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan juga menjadi perhatian, dengan beberapa tersangka seperti Suhada Siregar dari Kejaksaan Negeri Labuhanbatu Selatan yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Tersangka lainnya yang terkait dengan penganiayaan meliputi Jubelson Tampubolon dari Kejaksaan Negeri Toba Samosir, Fakhrurrazi bin Ridwan dari Kejaksaan Negeri Bireuen, dan beberapa lainnya dari berbagai wilayah, termasuk Aceh Tengah dan Kutai Kartanegara.
Selain itu, kasus terkait pelanggaran lalu lintas juga mendapatkan perhatian, seperti dalam kasus Tersangka Fitriani binti Saprudin M. Bay (Alm) dari Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tak ketinggalan, kasus penggelapan, penadahan, dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak juga diselesaikan melalui pendekatan ini, yang melibatkan Tersangka Muhammad Syahdan alias Saddam bin Hamdani dari Kejaksaan Negeri Samarinda, Rea Chandra Merrinda binti H. Achmad Surya dari Kejaksaan Negeri Samarinda, serta Sarah binti M. Nur dari Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Timur dan Irayati alias Ira binti (Alm) Saropi dari Kejaksaan Negeri Bungo.
Keputusan ini, menurut JAM-Pidum, merupakan langkah nyata dalam memadukan aspek hukum dan sosial.
"Keadilan restoratif bukan hanya soal menghentikan penuntutan, tetapi memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang bersalah untuk kembali ke jalan yang benar dan mendorong masyarakat untuk turut serta dalam menciptakan perdamaian," ujar Prof. Dr. Asep Nana Mulyana.
Langkah berani ini mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak, termasuk masyarakat yang merespon positif kebijakan ini. Mereka melihatnya sebagai cerminan dari wajah baru penegakan hukum di Indonesia, di mana keadilan tidak hanya dipandang dari sisi hukuman, tetapi juga dari sudut pandang kemanusiaan dan pemulihan.
Dengan penerapan keadilan restoratif ini, Indonesia semakin mendekatkan diri pada cita-cita keadilan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga menyembuhkan. Sebuah sistem yang memastikan bahwa penegakan hukum tidak hanya menegakkan peraturan, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Editor :M Amin
Source : Press Release Humas Kejagung RI