Duit Banyak, Tapi Masih Korupsi? Ini Alasannya, Berdasarkan Perspektif Ekonomi & Psikologi

Foto Pembahasan Mengapa
Bruno Frey & Alois Stutzer: What Can Economists Learn from Happiness Research?
SIGAPNEWS.CO.ID | NTB - Meski terlihat hidup mewah dengan mobil sport, rumah bak istana, dan saldo rekening milyaran, tak sedikit pejabat/ pengusaha kaya yang justru tersandung kasus korupsi. Fenomena ini kian menarik dan penuh kontradiksi. Bagaimana mungkin mereka yang sudah "cukup" secara materi masih tergoda oleh korupsi? Jawabannya ternyata, melibatkan dinamika ekonomi dan psikologi kebahagiaan yang lebih kompleks.
Pendahuluan: Antara Kelimpahan dan Ketidakpuasan
Kita sering mendengar kabar tentang pejabat/ pengusaha dengan pendapatan ratusan juta atau bahkan milyaran per bulan. Yang meski sudah menikmati kemewahan, justru terjerat kasus korupsi. Di mata masyarakat, hal ini seolah bertentangan; mengapa mereka yang sudah memiliki segala kebutuhan hidup masih memilih untuk mengambil jalan pintas yang melanggar hukum? Jawaban atas pertanyaan ini ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, melainkan melibatkan faktor psikologis dan ekonomi yang saling berkaitan.
Ekonomi dan Kebahagiaan: Apa Uang Tak Pernah Cukup?

Gambar 1: Hasil Riset Bruno Frey & Alois Stutzer, Ekonom dari University of Basel, yang Membahas Hubungan antara Ekonomi dan Kebahagiaan Berjudul “What Can Economists Learn from Happiness Research?” (Sumber: IG @zeniuseducation)
Berdasarkan penelitian oleh Bruno Frey dan Alois Stutzer dari University of Basel, hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan ternyata memiliki batas tertentu. Memang benar, peningkatan pendapatan awalnya membawa kebahagiaan yang signifikan karena:
- Memenuhi Kebutuhan Dasar: Dengan pendapatan yang cukup, beban pikiran terkait kebutuhan pokok seperti makanan, kesehatan, dan tempat tinggal pun berkurang.
- Lebih Banyak Pilihan: Kekayaan membuka peluang untuk menikmati liburan, memperoleh barang impian, dan mengakses pendidikan yang lebih baik.
- Penghargaan Sosial: Status yang tinggi memberikan pengakuan dan penghormatan dari lingkungan sosial.

Namun, seiring dengan peningkatan kekayaan, tambahan uang tidak serta merta meningkatkan kepuasan hidup secara proporsional. Inilah konsep diminishing marginal utility of income pada Gambar 2 di atas. Yang mana di level pendapatan yang tinggi, setiap tambahan uang hanya menambah kebahagiaan secara sangat marginal.
Grafik Kebahagiaan: Dari Kemiskinan Menuju Puncak yang Mendatar
Grafik yang diadaptasi dari konten @zeniuseducation pada Gambar 3 di bawah ini, akan menggambarkan bagaimana kurva kebahagiaan mengalami peningkatan tajam pada level pendapatan rendah, namun segera mendatar di level yang lebih tinggi. Artinya, bagi mereka yang hidup dalam kemewahan, untuk mendapatkan tambahan kebahagiaan yang sebanding dengan peningkatan pendapatan, mereka membutuhkan jumlah uang yang jauh lebih besar. Dibandingkan dengan mereka, yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.

Standar Hidup dan Perbandingan Sosial: Kejar-kejaran yang Tak Pernah Usai
Manusia cenderung menilai keberhasilan dan kebahagiaan secara relatif, berdasarkan perbandingan dengan orang lain di sekitarnya. Survei di Amerika Serikat, Eropa, Inggris, serta penelitian di Jerman dan Swiss menunjukkan bahwa:
- Relatif Lebih Penting: Rasa bahagia meningkat, ketika seseorang merasa lebih kaya dibandingkan lingkungan sekitarnya.
- Standar Hidup yang Terus Naik: Setiap kenaikan pendapatan justru menggeser standar ekspektasi. Apa yang dahulu terasa mewah, seiring waktu menjadi biasa.
- Psikologi Perbandingan: Saat teman atau tetangga memiliki aset yang lebih mewah, rasa tidak puas pun muncul meski pendapatan sendiri telah meningkat.
Dalam konteks inilah, korupsi menjadi jalan pintas yang menggoda. Bagi sebagian orang kaya, mengambil uang secara ilegal memberikan cara instan, untuk mengejar standar hidup dan posisi relatif yang lebih tinggi.
Korupsi: Jalan Pintas Menuju Kepuasan yang Terus Melaju
Korupsi bukan semata-mata soal kebutuhan finansial untuk bertahan hidup. Bagi sebagian orang, khususnya mereka yang sudah berada di puncak kekayaan, korupsi adalah cara untuk:
- Mengakselerasi Kekayaan: Dengan mendapatkan uang secara instan, mereka berharap dapat menaikkan level kebahagiaan dan menjaga posisi sosial.
- Melewati Batas Psikologis: Karena tambahan pendapatan legal tidak serta merta menambah kebahagiaan, korupsi menjadi alternatif untuk "memaksa" peningkatan kekayaan.
- Memuaskan Ekspektasi Sosial: Dalam dunia di mana perbandingan antar individu sangat dominan, korupsi dianggap sebagai alat untuk mempertahankan atau meningkatkan status.
Ditambah pula, lemahnya sistem penegakan hukum memberikan ruang bagi koruptor, untuk mengeksploitasi celah tanpa harus menghadapi konsekuensi yang berat.
Kesimpulan: Di Balik Kemewahan Tersimpan Keinginan yang Tak Pernah Puas
Kasus korupsi di kalangan orang kaya mengungkapkan bahwa, uang meskipun mampu memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan akses ke berbagai kemewahan, tidak selalu mampu mengisi kekosongan psikologis. Rasa tidak puas yang terus berkembang karena perbandingan sosial dan ekspektasi yang selalu meningkat, menjadi pemicu utama. Korupsi, dalam hal ini bukan hanya tentang uang, melainkan juga tentang status, pengakuan, dan keinginan untuk selalu berada di atas.
Fenomena ini mengajarkan kita bahwa, upaya mencapai kebahagiaan sejati tidak semata-mata bergantung pada materi Melainkan juga pada, keseimbangan antara pencapaian ekonomi dan kepuasan batin. Mungkin, di sinilah letak tantangan besar dalam mencari cara, agar pencapaian ekonomi tidak mengorbankan integritas dan nilai moral, yang seharusnya menjadi landasan setiap individu.
Berita ini disusun berdasarkan data dan wawasan yang dilansir dari Instagram @zeniuseducation.
Editor :M Amin
Source : https://www.instagram.com/p/DGx1u8LTKsy/?img_index=10&igsh=MTgwbG5hNmwzMnVlYg%3D%3D